BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 23 September 2010

PERAN PERTANIAN DALAM PENYELAMATAN LINGKUNGAN HIDUP






Masyarakat mengandalkan air, lahan, energi, keanekaragaman hayati dan ekosistem yang sehat untuk menjamin kelangsungan penghidupan mereka dan asset alam sangat penting untuk keluar dari kondisi pemiskinan.  Banyak isu lingkungan yang tadinya berdiri sendiri sebagai isu lingkungan seperti perubahan iklim dan bencana, sekarang bergeser menjadi isu pembangunan secara umum dan politik karena luasnya dampak yang ditimbulkan.  Salah satu kelompok penerima dampak terbesar, jika kita bicara tentang lingkungan dan menurunnya fungsi layanan aset alam adalah perempuan.  Perempuan dan pembedaan peran perempuan dalam masyarakat di Indonesia membuat beban yang lebih bagi perempuan. Perempuan sering mengalami ketidakadilan akibat pembedaan gender tersebut. 

Karena pembedaan peran ini erat kaitannya dengan budaya patriarki baik dalam artian sederhana, maupun oleh perimpitan budaya patriarki dengan kapitalisme, arus modal, neo-kolonialisme, neo-liberalisme dan berbagai bentuk kekerasan.  Upaya mengatasi masalah ketidakadilan gender di Walhi harus dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan perlawanan terhadap penghancuran kehidupan manusia. Selama satu dasawarsa, pemerintah Indonesia melakukan eksploitasi sumber daya alam demi alasan pertumbuhan perekonomian. Sayangnya, paradigma ekonomi sentries dalam pembangunan ini, telah menghancurkan sumber-sumber kehidupan rakyat, khususnya perempuan.

Aktor dan sistem yang mendorong kapitalisme turut melanggengkan marjinalisasi terhadap rakyat dan perempuan.  Berbagai kebijakan dan peraturan juga mendukung kerangka ini, misalnya UU otonomi daerah yang melahirkan berbagai Perda yang bias gender dan memisahkan SDA dari rakyat. Instrumentasi hukum oleh kekuatan ekonomi telah menjadikan rakyat terutama perempuan sebagai kelompok rentan, tetapi juga menjadi kelas yang paling dimiskinkan. Di sektor industri ekstraktif seperti kehutanan, perkebunan dan pertambangan, kepemilikan dikuasai oleh modal dan industri skala besar, sementara disisi yang lain rakyat, terutama perempuan, semakin dijauhkan dari hutan dan aset alam tempat mereka menggantungkan penghidupan.

Paradigma daratan dengan mengabaikan kekhasan Indonesia sebagai negara kepulauan, juga semakin mengeksploitasi sumber daya laut dan pesisir yang menggusur ribuan nelayan, terutama perempuan nelayan, dari ruang hidupnya. Kehancuran sumber daya laut semakin diperparah dengan pencemaran limbah industri dan kerusakan hutan mangrove, sehingga menjadi kelumrahan kemudian juga angka pemiskinan begitu tinggi di wilayah pesisir Indonesia.

Kelangkaan air terus menerus menjadi krisis rutin di Indonesia, bencana kekeringan dan tingkat pencemaran industri yang tinggi, mengakibatkan perempuan semakin sulit untuk bisa mengakses air bersih dan menjaga ketahanan pangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Di kota, perempuan semakin ditekan dengan menjamurnya budaya konsumtif yang didorong oleh industrialisasi pusat perbelanjaan. Budaya ini kemudian menghasilkan timbunan sampah, pencemaran air tanah dan menciutnya ruang terbuka publik.  Ditambah lagi dengan ancamana solusi teknologi yang justru berdampak buruk bagi kesehatan, seperti teknologi incenerator.

Ironisnya, ketika bencana ekologis terus menerus terjadi karena kesalahan pendekatan pembangunan, pemerintah pun tidak mampu memberikan perlindungan yang layak kepada jutaan perempuan yang tinggal di berbagai wilayah yang rentan terhadap bencana. Pemerintah melakukan pengabaian hak rakyat, khususnya perempuan, dalam pemenuhan hak-hak dasarnya pada pasca bencana terutama pada tahap tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Selama ini, kerusakan lingkungan dan aset alam belum merefleksikan sisi pandang perempuan. Budaya patriarki yang telah menggeser kedaulatan perempuan dalam mengelola dan menentukan pangan telah membuat pandangan perempuan tentang kehidupan menjadi kabur, tidak dipahami oleh laki-laki, bahkan oleh perempuan sendiri.  Perempuan juga masih ditinggalkan dalam proses pengambilan kebijakan. Jika melihat bahwa persoalan lingkungan hidup dan aset alam sebagai sebuah proses politik, perempuan banyak ditinggalkan dalam proses pengambilan keputusan politik untuk dapat mengakses sumber-sumber kehidupannya. Padahal, perempuan menjadi garda terdepan dalam upaya pelestarian lingkungan hidup dimulai dari tingkatan keluarganya, hingga mengambil peran penting dalam mengelola aset alam.

Bagi perempuan, the personal is political. Sesungguhnya persoalan perempuan adalah persoalan politik yang berkaitan dengan relasi kekuasaan, dan perempuan selalu menjadi kelompok yang dirugikan, karenanya WALHI sebagai organisasi yang membela hak dan kepentingan kelompok rentan harus mengambil sebuah keputusan dan sikap politik terkait isu perempuan, gender dan lingkungan.  WALHI harus senantiasa mendorong tercapainya keadilan gender (gender justice) untuk lingkungan aset alam yang lebih demokratis, adil dan berkemanusian.

0 komentar: